Informatika.umsida.ac.id – Sistem pembelajaran hybrid, yang menjadi andalan selama dan pasca-pandemi COVID-19, terus menjadi topik diskusi hangat di dunia pendidikan. Meskipun metode ini diharapkan mampu menjembatani kebutuhan pembelajaran online dan tatap muka, berbagai tantangan signifikan masih menghantui efektivitasnya, terutama dalam mata pelajaran eksakta seperti matematika.
Tantangan dalam Pembelajaran Hybrid
Penelitian yang dilakukan di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo mengungkapkan bahwa 73% mahasiswa mengalami kesulitan memahami materi selama perkuliahan hybrid. Kendala ini mencakup berbagai aspek, seperti ketergantungan pada teknologi, minimnya modul pembelajaran yang relevan, dan metode pengajaran yang dianggap kurang interaktif.
Seorang mahasiswa Informatika semester tiga mengungkapkan, “Jaringan internet yang sering tidak stabil membuat kami sulit mengikuti pembelajaran online. Selain itu, materi yang disampaikan melalui media daring kurang mendalam, sehingga kami merasa kesulitan memahami konsep-konsep penting.”
Masalah ini diperburuk oleh keterbatasan sumber belajar. Banyak mahasiswa mengeluhkan kurangnya bahan ajar yang terstruktur, seperti modul atau buku panduan yang dapat membantu mereka belajar secara mandiri. Faktor-faktor ini memperlihatkan bahwa sistem hybrid belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan pembelajaran mahasiswa.
Solusi Alternatif: Pengembangan E-Modul Berbasis Nilai Religius
Sebagai respons terhadap tantangan ini, penelitian di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo mengusulkan pengembangan e-modul berbasis nilai-nilai Al-Islam Kemuhammadiyahan. Modul ini dirancang tidak hanya untuk mengatasi kesulitan dalam pemahaman materi, tetapi juga untuk mengintegrasikan aspek moral dan spiritual ke dalam pembelajaran matematika.
Namun, pendekatan ini juga memunculkan perdebatan. Beberapa pihak mengkritisi sejauh mana integrasi nilai-nilai religius dapat diterapkan pada materi eksakta tanpa mengorbankan kedalaman akademiknya. Dr. Totok Wahyu Abadi, seorang akademisi dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, menekankan pentingnya keseimbangan. “Integrasi nilai-nilai religius memang penting, tetapi kita juga harus memastikan bahwa metode ini tidak menjadi beban tambahan bagi mahasiswa,” ujarnya.
E-modul ini dirancang dengan menggunakan model ADDIE, yang melibatkan tahap analisis, desain, pengembangan, implementasi, dan evaluasi. Hasil awal dari penelitian menunjukkan bahwa 82% mahasiswa mendukung pengembangan e-modul ini. Mereka percaya bahwa pendekatan ini dapat memberikan solusi tidak hanya terhadap kesulitan akademik tetapi juga dalam membangun karakter yang religius.
Kebutuhan Evaluasi dan Pengembangan Lebih Lanjut
Meskipun respons awal mahasiswa terhadap e-modul ini positif, implementasi penuh dari metode ini masih memerlukan pengujian lebih lanjut. Dibutuhkan evaluasi menyeluruh untuk memastikan bahwa modul ini tidak hanya efektif dalam meningkatkan pemahaman akademik, tetapi juga relevan secara moral dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
“Ini adalah langkah awal yang baik,” kata salah satu dosen. “Namun, kita perlu memastikan bahwa pendekatan ini tidak hanya menjadi solusi sementara, tetapi benar-benar mampu menjawab kompleksitas tantangan dalam pendidikan tinggi di masa depan.”
Penelitian ini menggarisbawahi bahwa sistem pembelajaran tidak dapat hanya mengandalkan teknologi atau integrasi nilai religius. Diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan responsif terhadap kebutuhan nyata mahasiswa. Solusi jangka panjang harus mampu menjawab tantangan ini, menciptakan generasi muda yang kompeten, berkarakter, dan siap menghadapi dunia kerja